Prof.
KH. Mohammad Tolhah Mansoer (1930-1986), putra dari KH. Mansoer. Beliau
lahir di Malang pada tanggal 10 September 1930. Istri beliau bernama
Umroh Mahfudzah, putri dari KH. Wahab Chasbullah kemudian dikaruniai
anak 3 laki-lali dan 4 perempuan. Beliau wafat pada 20 Oktober 1986
setelah dirawat di Rumah Sakit Sarjito karena penyakit jantung.
Julukan sosok integratif (baca: ilmuwan sekaligus kiai) tampaknya sangat tepat untuk dilekatkan kepada Prof KH Tolchah Mansoer. Ia merupakan salah satu contoh “orang NU” yang “sukses”. KH Tolchah merupakan founding fathers terpenting dalam organisasi IPNU. Ia merupakan pelopor, pendiri, dan penggerak pada masa awal berdirinya. IPNU dicita-citakan olehnya menjadi wadah bagi pelajar umum dan pelajar pesantren. (hlm. 261). Selain ahli di bidang hukum tata negara, kealiman di bidang pengamalan ajaran Islam tidak dapat dipungkiri. Ia banyak menulis buku ketatanegaraan dan banyak menerjemahkan buku-buku agama dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia. Tolchah Mansoer merupakan figur menarik dan penting dalam sejarah NU, sejak muda hingga masa tuanya. Ia merupakan aset berharga yang telah berjasa banyak dalam peletakan dasar-dasar gerakan dan kaderisasi NU hingga pembaharuan pemikiran dan arah organisasi NU.
Ada beberapa hal yang mendasari untuk “mendokumentasikan” lika-liku perjalanan hidup seorang ulama’ sekaligus ilmuwan, Prof Dr KH Moh. Tolchah Mansoer SH. Dalam pengantarnya, redaksi LKiS mengurai beberapa alasan dalam penerbitan buku ini.
Pertama, perjalanan hidupnya yang penuh perjuangan, kegigihan, ketulusan, dan kerja keras setidaknya dapat menjadi inspirasi bagi generasi zaman sekarang.
Kedua, jika ungkapan “Orang besar dapat mati saat hidupnya; namun ia bangkit dan justru hidup abadi setelah kematiannya” dapat dibenarkan. Semasa hidupnya, karena keteguhannya mempertahankan prinsip; karena suara lantangnya mengatakan kebenaran dan melontarkan kritik, ia sempat dikucilkan oleh penguasa. Namun, setelah sang penguasa tumbang, harum namanya kian semerbak: ide-ide jeniusnya tentang hukum tata negara pun diadopsi dan diterapkan pasca reformasi (50 tahun setelah ia berpulang).
Ketiga, Tolchah adalah pakar hukum tata negara terkemuka pada masanya, sekaligus seorang kiai mumpuni yang berwibawa. Keempat, hasrat umat Islam untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam dapat dikatakan sebagai ‘hasrat laten’.
Terlepas ada tidaknya pihak-pihak tak bertanggung jawab yang menunggangi mereka, sejarah telah membuktikan adanya usaha beberapa pihak untuk mewujudkan hasrat tersebut. Di era kontemporer ini, penghapusan tujuh kata dari Piagam Jakarta beberapa kali juga diangkat kembali menjadi isu yang hangat. Jika kita ‘membaca’ Tolchah, sang pakar hukum tata negara yang kiai ini, tentu hasrat semacam itu menjadi patut untuk disayangkan.(hlm. vii)
Hadirnya buku ini tentu menjadi sangat penting. Sebagaimana penuturan Idy Muzayyad dalam epilognya, ada dua hal yang sangat berseberangan berkaitan dengan lahirnya buku yang merekam jejak petualangan Profesor Tolchah. Pertama, ada rasa bangga, karena dengan buku ini, generasi muda (khususnya IPNU) mengetahui bahwa dalam sejarah awal organisasi pelajar ini terdapat seorang tokoh yang patut dibanggakan. Di sisi lain, dengan membaca buku ini kita juga patut merasa malu, karena sebagai pewarisnya kita belum mampu sepenuhnya meniru prestasi yang telah ditorehkan beliau. (hlm.259-260).
Melalui buku ini, pembaca akan diajak untuk menelusuri masa lalu kehidupan KH Tolchah yang penuh dengan keteladanan, pengalaman, dan cita-cita besar. Banyak hal yang tentunya patut dijadikan sebagai rujukan dalam mengarungi medan perjuangan yang dihadapi saat ini. Dengan terbitnya buku ini, seseorang bukan hanya dapat ‘membaca’ Tolchah secara lebih komprehensif, melainkan juga membaca dirinya sendiri. Sebab, membaca perjalanan hidupnya berarti memetik inspirasi; membaca sepak terjangnya bermakna menuai spirit; dan membaca percik pemikirannya adalah mencerahkan. Lebih dari itu semua, buku ini adalah sebuah usaha melawan alpa: sebuah upaya untuk tidak sekali-sekali melupakan sejarah!
Mengenai
pendidikan beliau, beliau mengawali pendidikankanya di SR-NU pada tahun
1937, kemudian tahun 1945-1947 beliau lanjutkan ke SMP islam namun tidak
sampai lulus. 1949 beliau melanjutkan pendidikannya di Taman Madya
kemudian Taman Dewasa Raya (setara SLTA) selesai pada tahun 1951. Talhah
melanjutkan ke jenjang perkuliahan pada tahun 1951 di Fakultas Hukum,
Ekonomi, Sosial dan Budaya (HESP) Universitas Gadjah Mada, namun beliau
berhenti kuliah pada tahun 1953. Kemudian pada 1959 beliau lanjutkan
kuliah sampai mendapat gelar Sarjana Hukum pada 1964, kemudian di
lanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi hingga mendapat gelar doctor
dalam bidang Hukum ketatanegaraan di bawah bimbingan Prof. Dr. Abdul
Ghaffar Pringgodigdo, dan berhasil memperhahankan desertasi dengan judul
Pembahaasan Beberapa Aspek Tentang Kekuasaan Eksekutif Dan Legislatif
Negara Indonesia.
Setelah
menuntaskan kuliahnya Thalhah, selain sibuk dalam kegiatan organisasi
beliau juga sibuk dalam mengajar di perguruan tinggi di IAIN sunan
Kalijaga, beliau juga mengajar di IKIP Yogyakarta, IAIN Sunan Ampel dan
Akademi Militer di Magelang. Beliau juga pernah menjadi Direktur Akademi
Administrasi Niaga Negeri (1965-1975), menjadi Rektor Universitas
Hasyim Asy’ari, Jombang (1970-1983), Rektor Perguruan Tinggi Imam Puro,
Purworejo (1975-1983) serta menjadi Dekan Fak. Hukum Islam di
Universitas Nahdlatul Ulam di Surakarta.
Mengenai
kepesantrenan, Thalhah berasal dari keluarga yang hidupnya di pesantren,
makanya selain beliau belajar dalam pendidikan-pendidikan formal beliau
juga tidak meninggalkan atau tidak lupa akan pendidikan agama yang mana
beliau peroleh dari pendidikan pesantren. Thalhah beliau pernah menimba
ilmu di pesantren-pesantren besar di Indonesia. Antara lain pesantren
Tebu Ireng Jombang, Pesantren Lasem Rembang dan pesantren lainnya. Tak
jarang beliau juga mengikuti pesantren kilat atau modok “puasanan”.
Mantan
Rektor Universitas Hasyim Asy’ari ini dalam perjalanan hidupnya juga
aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial dan organisasi. Banyak
organisai-organisasi yang pernah beliau ikuti dan hingga Akhirnya beliau
juga dapat memprakarsai berdirinya sebuah Organisasi Pelajar Nahdlatul
Ulama IPNU bersama rekan-rekannya yang lain[1].
Bakat
kepemimpinan Thalhah telah tampak sejak usia remajanya. Ketika thalhah
duduk di bangku SMP tahun 1945 dia sudah dipercaya untuk menjadi
sekretaris umum Ikatan Murid Nahdlatul Ulama (IMNU) untuk wilayah Kota
Malang dan pada waktu itu juga dia juga tercatat sebagai anggota
Organisasi Putra Indonesia dan anggota pengurus Himpunan Putera Islam
Malang. Di tahun yang sama Beliau juga menjabat sebagai sekretaris
Barisan Sabilillah dan Sekretaris bagian penerangan Markas Oelama Djawa
Timur.
Kegemarannya
berorganisasi begitu tinggi, hingga pada tahun 1953 dia rela
meninggalkan sementara kuliahnya guna mengembangkan kepekaannya terhadap
kehidupan masyarakat dan juga menyalurkan bakat kepemimpinannya. Selama
beliau berada di Djokdjakarta beliau pernah memegang jabatan sebagai
ketua di Departeman Penerangan Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia
(PII), dan juga pernah menjadi Ketua I Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
untuk wilayah Jogjakarta. Beliau pernah juga menjadi Wakil Ketua Panitia
Kongres Persatuan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia.
Thalhah
berhasil menorehkan sejarah ketika mencetuskan lahirnya organisasi
Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama’ (IPNU) dan gagasan tersebut disetujui
pada acara Konferensi Ma’arif Nahdlatul Ulama di Semarang pada tanggal
20 jumadil akhir 1973 bertepatan dengan 24 pebruari 1954. Dan mulai saat
itu Moh. Thalhah tercatat sebagai pendiri IPNU secara aklamasi dan
ditunjuk sebagai ketua umum pertama organisasi ini dan terus terpilih
menjadi ketua umum IPNU dalam rentetan tiga Muktamar, Muktamar I di
Malang (1955), Muktamar II di pekalongan (1957) dan Muktamar III di
Cirebon (1958). Dari organisasi yang dicetuskan Thalhah ini pula,
kemudian lahir Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Judul Buku : KH Moh. Tolchah Mansoer: Biografi Profesor NU yang Terlupakan
Penulis : Caswiyono Rusydie Cakrawangsa, Zainul Arifin, Fahsin M. Fa’al
Pengantar : Prof Dr KH Moh. Tholhah Hasan & HM. Fajrul Falakh SH MA MSc
Epilog : Idy Muzayyad MSi
Penerbit : Pustaka Pesantren, Yogyakarta
Cetakan : I, Juni 2009 & II, Oktober 2009
Tebal : xxxvi + 290 Halaman
Dibandingkan dengan tokoh-tokoh NU
lainnya, nama Moh. Tolchah Mansoer barangkali tidak terlalu populer di
mata masyarakat umum. Memang, beliau pernah menjadi pimpinan puncak
dalam organisasi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Namun, faktanya
tidak banyak literatur yang mendokumentasikan sepak terjang dalam
kehidupannya. Ketidakhadirannya dalam berbagai literatur, bukan berarti
sosok ini tidak memiliki arti penting dalam sejarah perkembangan bangsa
Indonesia, khususnya bagi organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama’. Orang
NU yang tercatat sebagai doktor hukum Tata Negara pertama dari
Universitas Gadjah Mada ini telah banyak menelorkan karya-karya penting
yang hingga kini menjadi rujukan utama dalam kajian dan pengembangan
hukum ketatanegaraan di Indonesia.Penulis : Caswiyono Rusydie Cakrawangsa, Zainul Arifin, Fahsin M. Fa’al
Pengantar : Prof Dr KH Moh. Tholhah Hasan & HM. Fajrul Falakh SH MA MSc
Epilog : Idy Muzayyad MSi
Penerbit : Pustaka Pesantren, Yogyakarta
Cetakan : I, Juni 2009 & II, Oktober 2009
Tebal : xxxvi + 290 Halaman
Julukan sosok integratif (baca: ilmuwan sekaligus kiai) tampaknya sangat tepat untuk dilekatkan kepada Prof KH Tolchah Mansoer. Ia merupakan salah satu contoh “orang NU” yang “sukses”. KH Tolchah merupakan founding fathers terpenting dalam organisasi IPNU. Ia merupakan pelopor, pendiri, dan penggerak pada masa awal berdirinya. IPNU dicita-citakan olehnya menjadi wadah bagi pelajar umum dan pelajar pesantren. (hlm. 261). Selain ahli di bidang hukum tata negara, kealiman di bidang pengamalan ajaran Islam tidak dapat dipungkiri. Ia banyak menulis buku ketatanegaraan dan banyak menerjemahkan buku-buku agama dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia. Tolchah Mansoer merupakan figur menarik dan penting dalam sejarah NU, sejak muda hingga masa tuanya. Ia merupakan aset berharga yang telah berjasa banyak dalam peletakan dasar-dasar gerakan dan kaderisasi NU hingga pembaharuan pemikiran dan arah organisasi NU.
Ada beberapa hal yang mendasari untuk “mendokumentasikan” lika-liku perjalanan hidup seorang ulama’ sekaligus ilmuwan, Prof Dr KH Moh. Tolchah Mansoer SH. Dalam pengantarnya, redaksi LKiS mengurai beberapa alasan dalam penerbitan buku ini.
Pertama, perjalanan hidupnya yang penuh perjuangan, kegigihan, ketulusan, dan kerja keras setidaknya dapat menjadi inspirasi bagi generasi zaman sekarang.
Kedua, jika ungkapan “Orang besar dapat mati saat hidupnya; namun ia bangkit dan justru hidup abadi setelah kematiannya” dapat dibenarkan. Semasa hidupnya, karena keteguhannya mempertahankan prinsip; karena suara lantangnya mengatakan kebenaran dan melontarkan kritik, ia sempat dikucilkan oleh penguasa. Namun, setelah sang penguasa tumbang, harum namanya kian semerbak: ide-ide jeniusnya tentang hukum tata negara pun diadopsi dan diterapkan pasca reformasi (50 tahun setelah ia berpulang).
Ketiga, Tolchah adalah pakar hukum tata negara terkemuka pada masanya, sekaligus seorang kiai mumpuni yang berwibawa. Keempat, hasrat umat Islam untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam dapat dikatakan sebagai ‘hasrat laten’.
Terlepas ada tidaknya pihak-pihak tak bertanggung jawab yang menunggangi mereka, sejarah telah membuktikan adanya usaha beberapa pihak untuk mewujudkan hasrat tersebut. Di era kontemporer ini, penghapusan tujuh kata dari Piagam Jakarta beberapa kali juga diangkat kembali menjadi isu yang hangat. Jika kita ‘membaca’ Tolchah, sang pakar hukum tata negara yang kiai ini, tentu hasrat semacam itu menjadi patut untuk disayangkan.(hlm. vii)
Hadirnya buku ini tentu menjadi sangat penting. Sebagaimana penuturan Idy Muzayyad dalam epilognya, ada dua hal yang sangat berseberangan berkaitan dengan lahirnya buku yang merekam jejak petualangan Profesor Tolchah. Pertama, ada rasa bangga, karena dengan buku ini, generasi muda (khususnya IPNU) mengetahui bahwa dalam sejarah awal organisasi pelajar ini terdapat seorang tokoh yang patut dibanggakan. Di sisi lain, dengan membaca buku ini kita juga patut merasa malu, karena sebagai pewarisnya kita belum mampu sepenuhnya meniru prestasi yang telah ditorehkan beliau. (hlm.259-260).
Melalui buku ini, pembaca akan diajak untuk menelusuri masa lalu kehidupan KH Tolchah yang penuh dengan keteladanan, pengalaman, dan cita-cita besar. Banyak hal yang tentunya patut dijadikan sebagai rujukan dalam mengarungi medan perjuangan yang dihadapi saat ini. Dengan terbitnya buku ini, seseorang bukan hanya dapat ‘membaca’ Tolchah secara lebih komprehensif, melainkan juga membaca dirinya sendiri. Sebab, membaca perjalanan hidupnya berarti memetik inspirasi; membaca sepak terjangnya bermakna menuai spirit; dan membaca percik pemikirannya adalah mencerahkan. Lebih dari itu semua, buku ini adalah sebuah usaha melawan alpa: sebuah upaya untuk tidak sekali-sekali melupakan sejarah!
Biografi Pendiri IPNU KH.TOLHAH MANSOER
4/
5
Oleh
lufilahmad.blogspot.com